Kamis, 22 November 2018

"Prasasti Lawadan" Tonggak Hari Jadi Kabupaten Tulungagung yang Tersembunyi



Gb. Prasasti Lawadan yang terdapat di kawasan pabrik IMIT 

Prasasti Lawadan atau masyarakat sekitar mengenalnya dengan sebutan Watu Garit  merupakan salah satu prasasti yang ada di Kabupaten Tulungagung. Lokasinya berada di halaman  pabrik IMIT wilayah desa Besole, Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung. Prasasti Lawadan sendiri merupakan cagar budaya yang ex-situ, karena sudah berpindah dari lokasi aslinya. Sebelumnya, prasasti ini berada di Desa Wateskroyo, Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung. Kemudian pada tahun 1970-an dipindahkan ke pabrik IMIT, desa Besole untuk menjaga keamanannya dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab terhadap peninggalan sejarah.
 Dilihat dari bahan dan ukurannya, prasasti Lawadan terbuat dari Batu Andesit dengan ukuran tingginya mencapai 152 cm dengan lebar bagian atas 90 cm, lebar bagian bawah 76 cm, dan memiliki ketebalan 28 cm. 
        Secara fisik, Prasasti Lawadan berbentuk lempeng batu besar, dengan bentuk akolade pada bagian atas. Di bagian bawah terdapat tonjolan persegi selebar 30 cm yang diduga semacam “pasak” yang ditancapkan pada batu pasangan di bawahnya. Sedangkan dalam  prasasti Lawadan sendiri memakai jenis aksara Jawa Kuno periode Jawa Timur awal.
Kondisi aksara/huruf pada prasasti sudah banyak yang kabur dikarenakan kondisinya yang sudah aus. Berdasarkan pengamatan yang ada, terlihat pahatan hurufnya cukup rapi. Huruf terpahat pada batu  prasasti membentuk pahatan ke dalam. Ukuran rata-rata huruf sekitar 1 cm dan kelebaran huruf  yang paling lebar sekitar 1,5 cm. Jumlah baris pada bagian depan prasati sebanyak 30 baris, sedangkan pada bagian belakang terdapat sebanyak 28 baris. Lancana yang ada pada prasasti sudah tidak terlihat lagi karena batu prasasti sudah aus, tapi masih terlihat lokasi penggambaran lencananya, yaitu berupa bulatan dengan diameter sekitar 25 cm secara vertikal dan 29 cm secara horizontal.
Muatan sejarah dari prasasti Lawadan dulunya merupakan suatu penghargaan dari raja Daha terakhir, yaitu Paduka Sri Maharaja Sarwweswara Triwikrama Watara Nindita Srengga Lancana Digjaya Tungga Dewanama atau lebih dikenal dengan sebutan Sri Kertajaya atau Raja Kertajaya yang waktu itu berkenan atas kesetiaan warga Thani Lawadan terhadap raja ketika terjadi serangan  musuh dari sebelah timur Daha. Prasasti Lawadan bertarikh Saka 1127. Prasasti ini menginformasikan mengenai pemberian  status kaswatantan atau perdikan (sima) kepada duwan di desa Lawadan, yang berisi pembebasan dari berbagai pungutan pajak dan penerimaan berbagai hak istimewa ( Bocchari, SNI II 1984 1275).
Berdasarkan  isi dari Prasasti Lawadan, terdapat nilai penting yang terkandung di dalamnya. Yakni ditetapkannya prasasti Lawadan sebagai tonggak hari jadi Kabupaten Tulungagung yang  ditetapkan pada 18 November 1205 M  berdasarkan pada tahun dan peristiwa dalam prasasti Lawadan yang bertarikh Saka 1127 yang menyatakan “ Sukra Suklapaksa Mangga Siramasa” kurang lebih artinya Jum’at Pahing 18 November 1205 M. Tanggal 18 November 1205 beserta peristiwa yang terkandung di dalam prasasti Lawadan di jadikan sebagai proritas pilihan dalam penetapan hari jadi Tulungagung didasari oleh pertimbangan bahwa prasasti Lawadan memuat informasi tentang sistem sosial- budaya dan sistem pemerintahan yang teratur di kawasan rawa-rawa purba Tulungagung selatan dan sekitarnya.  Sehingga pada 9 Oktober 2002 ditetapkan perda Kabupaten Tulungagung No. 27 tahun 2002  pada pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa tanggal 18 November 1205 ditetapkan sebagai hari jadi Tulungagung.
Dengan adanya prasasti Lawadan, seharusnya membuat para generasi muda di kabupaten Tulungagung mengetahui dan ikut serta menjaga dan melestarikan peninggalan yang tersisa saat ini. Selain itu juga peran serta pemerintah dan masyarakat juga sangat berpengaruh terhadap keberadaan peninggalan sejarah yang ada supaya tetap lestari dan menjadi aset kebanggaan kabupaten Tulungagung khusunya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.  




Sumber:
  • Daftar Pustaka : 
    Majalah Rakyat Tulungagung. 33-37. Edisi Februari 2016
  • Data Informan: 
    1)      Nama               : Sumarli
    Pekerjaan         : Manager Personalia Pabrik IMIT
    Alamat                        : Ds. Sodo, Kec. Pakel, Kab. Tulungagung

    2)      Nama               : Trijono, S.S.
    Umur               :  45 Tahun
    Pekerjaan         : Guru Sejarah dan Antropologi
    Alamat                        : Perum Rima Karya Timur No. 23, Kepatihan, Tulungagung

  • Umur               : 46 Tahun

Kamis, 10 November 2016

Tugu Wajakensis Tonggak Sejarah Penemuan Manusia Purba Homo Wajakensis


Tugu Wajakensis Tonggak  Sejarah Penemuan Manusia Purba Homo Wajakensis 


Sejarah Penemuan Fosil Manusia Purba Wajakensis
Pada tahun 1850, di Pegunungan Gamping selatan di wilayah Campurdarat, waktu itu masih disebut dengan distrik Wajak. Daerah tersebut tepatnya berada di Desa Gamping, kecamatan Campurdarat, kabupaten Tulugagung, dimana pada daerah tersebut terdapat penggalian tambang marmer pertama yang ada di Tulungagung. Namun apabila kita kronologikan, pada masa penjajahan Belanda yang disebut dengan Distrik Wajak pada masa penemuan situs fosil manusia purba tersebut adalah daerah Campurdarat, yang termasuk wilayah kabupaten Tulungagung bagian selatan. Berdasarkan penelitian arkeologi yang dilakukan pada oleh Van Riestchoten  tahun 1889 di lereng Gunung gamping Distrik Wajak Kecamatan Campurdarat ditemukan bukti bahwa pada masa lalu daerah ini telah didiami oleh Homo Sapiens Wajakensis.  Fosil ini merupakan fosil Homo Sapiens pertama yang dijumpai di Indonesia. Dengan ciri-ciri memiliki volume otak 1630 cc, bermuka datar dan lebar, akar hidungnya lebar dan bagian mulutnya menonjol sedikit. Wajak kedua ditemukan oleh Dubois pada tahun 1890 di tempat yang sama. Temuan berupa fragmen-fragmen tulang tengkorak, rahang atas dan rahang bawah, serta tulang paha dan tulang kering. Pada tengkorak ini terlihat juga busur kening yang nyata. Dari tulang pahanya dapat diketahui bahwa tinggi tubuhnya kira-kira 173 cm.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia wajak bertubuh tinggi dengan isi tengkorak yang besar. Wajak sudah termasuk Homo Sapiens, jadi sangat berbeda ciri-cirinya dengan Pithecanthropus. Manusia Wajak mempunyai ciri-ciri baik ras Mongoloid dan Austrolomelanosoid. Hal itu dapat dilihat dari ciri tengkoraknya yang sedang atau agak lonjong itu berbentuk agak persegi di tengah-tengah atap tengkoraknya dari muka ke belakang.  Selain itu   Di desa Gamping Kecamatan Campurdarat juga ditemukan fosil tapirus indicus (Tapir), Manik-manik dan benda perunggu.
Pemberitaan pertama tentang fosil manusia purba Homo Wajakensis diterbitkan tahun 1889 dalam pertemuan ”Koninklij – ke Natuurkundigo in Nederkansch – Indie” pada 13 Desember 1888, Mr. C. Ph. Sluiter tahun 1889 membaca surat dari Mr. B. D. Van Rietshouten yang isinya dia telah menemukan tengkorak manusia dan sejenisnya. Abstraksi tentang isi surat tersebut disimpan pada berkas koleksi Dubois, Rijksmuseum Van Natuurlijk Historie, Leiden. Di dalamnya termasuk sketsa tentang situs wajak yang diproduksi ulang oleh Van Briak, 1982. Surat tersebut tertanggal 31 Oktober 1888 (Majalah Bersinar Tulungagung, edisi 25/IV/April 2005). Menurut Effendhie (1999), bahwasanya manusia purba Wajakensis mempunyai tinggi badan 173 cm, manusia Wajak ini juga menunjukkan ciri-ciri ras Mongoloid dan Australomelanosoid, yang diperkirakan hidup antara 40.000 sampai 25000 tahun yang lalu.
Bagi Dubois, atas penemuannya yang berupa manusia purba Homo Wajakensis tersebut, akhirnya Dubois tinggal di daerah Tulungagung kurang lebih selama lima tahun. Di daerah Tulungagung tersebut, ia melakukan penyisiran lagi, ditempat Van Rietschoten menemukan fosil tengkorak manusia, yakni di daerah cekungan bebatuan sekitar daerah Wajak. Yang menarik pada saat Dubois tinggal di daerah Tulungagung adalah ia juga sering berkunjung ke perkebunan milik orang Skotlandia yang bernama Boyd, tepatnya di daerah Pegunungan Wilis. Setelah Dubois menemukan fosil manusia purba di daerah Tulungagung Selatan (Homo Wajakensis), ia semakin berambisi untuk bisa menemukan manusia purba yang lainnya. Akhirnya ia berpindah ke berbagai tempat di daerah Jawa Timur dan daerah Jawa Tengah.  Sudah berpuluh tahun Dubois meninggalkan Indonesia, akhirnya kuburannya yang terletak di perkebunan De Bedelaer miliknya di Kota Venlo, hanya bisa membisu. Batu nisannya yang bertahtakan fosil tempurung kepala dan dua tulang paha yang disilangkan dari Phithecantrhopus yang menjadi saksi bahwasanya Dubois adalah penemu fosil manusia purba di Indonesia (khususnya daerah Jawa Tengah dan daerah Jawa Timur) (http://www.athenapub.com/13intro-he-htm).


Peran Pendirian Tugu Monumen Wajakensis
 Saat ini keberadaan kesejarahan lokal mulai dibangkitkan untuk mewujudkan kesejarahan yang berskala nasional. Perlu diketahui bahwa Homo Sapiens yang dinamakan Homo Wajakensis tersebut merupakan kesejarahan yang berskala internasional yang telah diakui keberadaannya oleh dunia. Sehingga sangat tepat dan benar apabila dibangun tugu monumen sebagai bentuk simbolisasi terhadap penemuan fosil Homo Wajakensis yang pernah terjadi pada masa itu.
Setiap bangunan tetunya mempunyai makna dan mewakili setiap keinginan. Begitu pula dengan monumen tugu Wajakensis yang berada di distrik Wajak. Monumen adalah jenis bangunan yang dibuat untuk memperingati seseorang atau peristiwa yang dianggap penting oleh suatu kelompok sosial sebagai bagian dari peringatan kejadian pada masa lalu (Wikipedia:Monumen). Berdasar definisi tersebut, dapat diambil intinya bahwa tujuan dari dibangunnya monumen adalah untuk memperingati peristiwa yang dianggap penting seperti pada penemuan Fosil manusia purba Homo Wajakensis yang ditemukan oleh Van Riestchoten pada tahun1889 dan dilanjutkan  penelitian yang dilakukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1890 seharusnya menjadi kebanggaan bagi masyarakat Tulungagung,bahwa wilayah tersebut dulunya pernah menjadi tempat perburuan peneliti dunia untuk menggali fosil. Setidaknya berdirinya monumen tugu tersebut dapat menjadi bukti pernah ditemukannya tengkorak manusia purba yang berada di wilayah Tulungagung selatan serta untuk mempromosikan situs Wajakensis ini kepada khalayak umum. Meskipun tengkorak Homo Wajakensis sekarang berada di Belanda.

Tugu monumen Wajakensis ini berada di Dusun Nglempung, desa Gamping, kecamatan Campurdarat, kabupaten Tulungagung. Tugu  monumen ini dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Tulungagung pada tahun 2012 yang bertujuan untuk memberi  tanda lokasi kerja Dubois bahwa di kawasan tersebut dulunya pernah ditemukan fosil Homo Wajakensis. Filosofi dari bangunan tugu monumen Wajakensis yakni adanya bentuk yang menyerupai huruf C. Lambang C pada monumen ini mengarah ke Gua Lawa, yaitu tempat ditemukannya fosil manusia purba Homo Wajakensis. Huruf C pada tugu monument ini diartikan sebagai cikal bakal ditemukannya fosil manusia purba pertama di Indonesia. Hanya saja pada pembangunannya dan pengembangannya, tugu monumen Wajakensis ini masih belum banyak diketahui oleh generasi muda maupun masyarakat dikarenakan tidak adanya petunjuk arah mengenai situs Wajakensis. Sehingga kawasan tugu monumen Wajakensis ini terkesan sepi dan terasingkan oleh peradaban baru.  Pendirian tugu monumen  tersebut sebenarnya sudah sesuai dengan lokasi ditemukannya fosil Homo Wajakensis oleh Dubois, karena tidak jauh dari tugu monumen tersebut tedapat jajaran Goa tempat tinggal Homo Wajakensis dan  Tugu prasasti marmer yang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Hal lain yang memperkuat bahwa situs Wajakensis ini masih utuh adalah pendapat dari Aziz, seorang  Geolog dari ITB yang melakukan penelitian dengan bantuan dari penggambaran dan catatan Dubois, yang mengatakan bahwa situs Wajak tidak hancur dari penambangan marmer dan masih ada kemungkinan untuk digali. 



http://www.athenapub.com/13intro-he-htm
kiaibudaya.blogspot.com
Sejarah Indonesia Kelas X Kurilulum 2013.kemikbud